Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang
disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang
menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia
membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan
dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam
transaksi utang piutang.
Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin.
Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si
miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan
pelunasan sampai dua tahun ke depan”. Sebulan setelah itu, si empunya
tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan
harga 170 juta secara tunai.”
Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan
akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih
menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di
atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini
termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan
keuntungan, itu adalah riba.”
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda
pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam
Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut.
Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau
membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga
menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di
balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan
di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba.
Jika jual beli ini dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200
juta dengan 170 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ
الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor
sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam
(maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu
fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak
akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR.
Abu Daud no. 3462. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat
‘Aunul Ma’bud, 9: 242).
2. Jual beli muzabanah dan muhaqolah
Muzabanah adalah setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui
takaran, timbangan atau jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas
takarannya, timbangan atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah
dikilo dengan kurma yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak
jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar
barang ribawi yang sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ
الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً ،
وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
jual beli muzabanah. Yang dimaksud muzabanah adalah seseorang membeli buah
(yang masih di pohon) ditukar dengan kurma yang sudah dikilo atau membeli
anggur yang masih di pohon ditukar dengan anggur yang sudah dikilo” (HR.
Bukhari no. 2185 dan Muslim no. 1542).
Muhaqolah adalah jual beli dengan menukar gandum yang ada
pada mayang (bulir) dengan gandum yang bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal
ini terjadi pada gandum, maka terdapat riba karena dalam tukar menukar gandum
dengan gandum harus diketahui takaran yang sama.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمُحَاقَلَةِ
وَالْمُزَابَنَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli
muhaqolah dan muzabanah” (HR. Bukhari no. 2187 dan Muslim no. 1536).
Namun ada bentuk jual beli yang dibolehkan padahal semisal
dengan muzabanah dan muhaqolah yaitu yang dikenal dengan jual beli ‘aroya.
‘Aroya adalah menukar kurma basah dengan kurma kering di saat ada hajat
(butuh). Ibnu Hajar berkata,
لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ صَاحِبِ الْحَائِطِ
إِلَى الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ
“Tidak boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam
keadaan hajat yaitu si penjual sangat butuh untuk menjual atau si pembeli
sangat butuh untuk mendapatkan kurma basah” (Fathul Bari, 4: 393).
Para ulama menjelaskan bahwa jual jual beli aroyah diberi
keringanan dengan beberapa syarat:
– Bisa ditaksir berapa kurma basah ketika akan menjadi
kering.
– Yang ditukar tidak lebih dari lima wasaq (1 wasaq = 60
sho’, 1 sho’ = 4 mud, 1 sho’ = 2,176 kg, 1 wasaq = 130.56 kg).
– Dilakukan oleh orang yang butuh pada kurma basah.
– Orang yang menginginkan kurma basah tidaklah memiliki
uang, hanya memiliki kurma kering dan ia bisa mentaksir. (Manhajus Salikin,
142).
3. Jual beli daging dengan hewan
Tidak boleh melakukan jual beli semacam ini. Yang mesti
dilakukan, terlebih dahulu hewan tersebut bersih dari tulang, setelah itu boleh
ditukar dengan daging. Jika terjadi kelebihan takaran atau timbangan, maka
terjadilah riba fadhel. Contohnya adalah jual beli kambing yang masih hidup
ditukar dengan daging kambing.
Dari Sa’id bin Al Musayyib, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ
اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli
daging dan hewan” (HR. Malik dalam muwatho’nya 2: 655, Al Baihaqi 5: 296, Hakim
dalam mustadroknya 5: 357. Al Baghowi mengatakan bahwa hadits Ibnul Musayyib
meskipun mursal, namun dikuatkan dengan amalan sahabat. Imam Syafi’i sendiri
menganggap hasan hadits mursal dari Sa’id bin Al Musayyib. Lihat Syarh As Sunnah
8: 77).
4. Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)
Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak
melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual
beli kredit harus melihat beberapa kriteria. Jika tidak diperhatikan,
seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.
Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi
milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini,
si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah
ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan
penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam
itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.
Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si
penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk
membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak
bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat,
kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga.
Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak
ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari
bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus
memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada
tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada
keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)
Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa
dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli
sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi
milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku
berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR.
Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ
الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ
نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh
untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi
ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama
dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang.
Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat
yang diambil dari utang piutang.
5. Jual beli utang dengan utang
Bentuknya adalah seseorang membeli sesuatu pada yang lain
dengan tempo, namun barang tersebut belum diserahkan. Ketika jatuh tempo,
barang yang dipesan pun belum jadi. Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan
barang tersebut padaku hingga waktu tertentu dan aku akan memberikan tambahan”.
Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqobudh (serah terima barang). Bentuk
jual beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada.
Dan di sana ada riba karena adanya tambahan.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ
الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli
utang dengan utang” (HR. Ad Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini dho’if sebagaimana dalam Dho’iful Jaami’ 6061). Namun makna
hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu terlarang jual beli
utang dengan utang.
Karena sebab inilah dalam jual beli salam (uang dahulu,
barang belakangan), berlaku aturan uang secara utuh diserahkan di muka, tidak
boleh ada yang tertunda.
Demikian ulasan mengenai jual beli yang mengandung riba.
Masih ada beberapa bentuk jual beli yang terlarang yang moga bisa dilanjutkan
dalam kesempatan yang lain dengan izin Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.
Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh.
Peraturan dalam berkomentar !
--------------------------------------------
1. Berkomentarlah yang relevan sesuai topik yang dibahas diatas.
2. Gunakan bahasa yang baik dan sopan.
3. Tidak Meninggalkan Link aktif.
4. Tidak berkomentar mengandung SPAM
EmoticonEmoticon